Jl. Wijayandaru 35 Wilangan Kec. Sambit Kab. Ponorogo Pos 63474

Sabtu, 02 April 2022

Penerapan Coaching di Sekolah dan Peran Guru sebagai Coach

Guru diharapkan menjadi pemimpin pembelajaran yang  harus memainkan banyak peran. Sebagai guru, tentu kita selalu menjadi mentor bagi murid dengan menyampaikan pengalaman yang kita miliki. Kita juga melakukan konseling dengan murid, ketika mereka datang dengan permasalahan mereka. Nah, ketika harus menghadapi murid dengan berbagai potensinya dan kita berupaya untuk memaksimalkan potensi tersebut, kita seyogyanya berperan sebagai seorang coach. Mengapa harus berperan sebagai coach?

Gambar: Ilustrasi Coaching Model TIRTA


Definisi Coach

Para ahli mendefinisikan coaching sebagai :

  • sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999)
  • kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003)
Dari definisi ini, Pramudianto (2020) menyampaikan tiga makna:
  1. KemitraanHubungan coach dan coachee adalah hubungan kemitraan yang setara. Untuk membantu coachee mencapai tujuannya, seorang coach mendukung secara maksimal tanpa memperlihatkan otoritas yang lebih tinggi dari coachee.
  2. Memberdayakan. Proses inilah yang membedakan coaching dengan proses lainnya. Dalam hal ini,  dengan sesi coaching yang ditekankan pada bertanya reflektif dan mendalam, seorang coach dapat menggali, memetakan situasinya sehingga menghasilkan pemikiran atau ide-ide baru.
  3. Optimalisasi. Selain menemukan jawaban sendiri, seorang coach akan berupaya memastikan jawaban yang didapat oleh coachee diterapkan dalam aksi nyata sehingga potensi coachee berkembang.

Peran Guru sebagai Penuntun (Sistem Among) / Coach

Sistem Among (Tut Wuri Handayani) menjadi salah satu kekuatan dalam pendekatan pendampingan (coaching) bagi guru. Menilik kembali filofosi Ki Hajar Dewantara tentang peran utama guru (Pamong), maka memahami pendekatan coaching menjadi selaras dengan Sistem Among sebagai salah satu pendekatan yang memiliki kekuatan untuk menuntun kekuatan kodrat anak (murid). Pendampingan yang dihayati dan dimaknai secara utuh oleh seorang guru, sejatinya menciptakan ARTI (Apresiasi-Rencana-Tulus-Inkuiri) dalam proses menuntuk kekuatan kodrat anak (murid sebagai coachee). Proses menciptakan ARTI dapat dilatih melalui pendekatan coaching sistem among dengan menggunakan metode TIRTA. Apa itu metode TIRTA dalam pendekatan coaching?


Metode TIRTA

TIRTA merupakan satu model umum coaching, dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching. Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk melejitkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka. Melalui model TIRTA, guru diharapkan dapat melakukan pendampingan kepada murid melalui pendekatan coaching di komunitas sekolah dengan lebih mudah dan mengalir.

TIRTA merupakan akronim dari:

T    : Tujuan
I     : Identifikasi
R   : Rencana aksi
TA  : Tanggung jawab

  • Tujuan : tahap awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee.
  • Identifikasi : coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada.
  • Rencana Aksi : pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat.
  • TAnggung jawab : membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya.
Apabila kita mengacu pada definisi coaching dan metode TIRTA, maka sebagai guru (coach) perlu memiliki kopetensi berupa keterampilan berkomunikasi yang dapat memberdayakan potensi murid secara optimal. Ketika melakukan kegiatan coaching, sebagai seorang coach kita biasanya menghendaki adanya hasil yang dicapai, namun ada kalanya coachee kita (murid) merasa ragu serta tertekan dengan komunikasi yang hendak dibangun. Karenanya perlu dibangun rasa percaya dan aman dengan pemahaman berkomunikasi secara asertif.

Diferensisai dan PSE sebagai pendukung Komunikasi Asertif

Berkomunikasi secara asertif akan membangun kualitas hubungan kita dengan orang lain menjadi lebih positif karena ada pencapaian bersama dan kesepakatan dalam pemahaman dari kedua belah pihak. Kualitas hubungan yang diharapkan dibangun atas rasa hormat pada pemikiran dan perasaan orang lain.

Dalam usaha membangun keselarasan berkomunikasi asertif maka kita perlu memperhatikan kebutuhan belajar murid (coachee) berdasarkan minat, profil, dan kesiapan belajar (diferensiasi). Dengan dasar tersebut coach akan lebih mudah dalam memberdayakan coachee dalam mencapai tujuan. Selain itu, untuk membangun rasa percaya dan aman dalam proses komunikasi maka coach harus dapat mengelola kopetensi sosial dan emosional (PSE) dengan menumbuhkan kesadaran penuh dilandasi perhatian yang berkualitas, keterbukaan, rasa ingin tahu, apresiatif, reflektif, dan kepedulian secara kolaboratif.

Pendekatan coaching menggunakan model TIRTA ini kami simulasikan dalam pemecahan kasus di sekolah bersama rekan guru agar lebih mudah dalam memberi gambaran praktek secara langsung. Dokumentasi praktek tersebut dapat dilihat dalam chanel youtube:

SDWILANGAN TV





Oleh:

HANUNG EKO SUHARTANTO
Calon Guru Penggerak Angkatan 4 Kab. Ponorogo


0 comments:

Posting Komentar